Sudahlah Nurdin...

FIFA akhirnya menyampaikan sikap resmi. Substansinya sama dengan hasil pertemuan antara Duta Besar RI untuk Swiss Djoko Susilo dan Ketua Umum KONI/KOI Rita Subowo dengan Presiden FIFA Sepp Blatter di Zurich, Selasa lalu. Sebelum ini kubu Nurdin Halid meragukan keterangan Dubes bahwa Presiden FIFA melarang Nurdin kembali mencalonkan diri sebagai ketua umum PSSI karena yang bersangkutan pernah menjadi narapidana. FIFA juga menguatkan keputusan Komisi Banding yang mengadang tiga calon lainnya: Nirwan Bakrie, George Toisutta, dan Arifin Panigoro.

Sekjen PSSI Nugraha Besoes bahkan menganggap, jika memang benar pernyataan itu ada, merupakan opini Blatter dan bukan suara resmi FIFA. PSSI hanya berpedoman pada keputusan rapat Komite Eksekutif  FIFA. Dalam rapat tersebut, Nirwan Bakrie yang didampingi Deputi Sekjen Dali Tahir bertemu dengan Sekjen FIFA Jerome Valcke. Menurut Nugraha, FIFA menegaskan PSSI tetap harus menyelenggarakan kongres untuk membentuk Komisi Pemilihan dan Komisi Banding pada 26 Maret mendatang.

Kita menunggu langkah-langkah lebih lanjut. Tentu proses dan pelaksanaan kongres harus didorong agar benar-benar berada di bawah kontrol objektif FIFA. Logikanya, tidaklah mungkin seorang duta besar — yang merupakan wakil bangsa dan negara — gegabah menyampaikan pernyataan berbeda dari substansi yang ada. Pertanyaan kita, ada apa sebenarnya sehingga pasal Statuta FIFA tentang posisi ”mantan narapidana” yang diterjemahkan berbeda dalam pasal Statuta PSSI tidak dikoreksi oleh FIFA?

Kisah ”rebutan PSSI” antara kelompok status quo dengan rakyat — melalui para pemilik suara —, tampaknya makin bergerak ke psikologi kekuasaan. Awam tentu berhak mempertanyakan, mengapa Nurdin Halid yang jelas-jelas tidak mampu mencatatkan prestasi tim nasional selama delapan tahun memimpin PSSI, seperti tidak pernah mau mengakui kegagalan itu dengan mencoba tetap bertahan? Mengapa seberani itu mempertaruhkan kredibilitas bangsa dan negaranya dengan memainkan pasal dalam Statuta FIFA?

Kuncinya ada di tangan FIFA, dan kita akan melihat apakah organisasi tertinggi sepak bola dunia itu mau membuka mata mengenai realitas yang terjadi di Indonesia. Jika akhirnya pernyataan Sepp Blatter yang dijadikan landasan menyikapi kemelut PSSI, berarti FIFA tidak menutup telinga dari kondisi objektif yang berlangsung. Sebaliknya jika membiarkan Nurdin cs melaju dan mengabaikan koreksi atas kontroversi pasal ”mantan narapidana”, berarti ada lingkaran permainan di dalam FIFA sendiri.

Permainan kekuasaan dengan menjustifikasi peraturan, seolah-olah taat asas, hanya makin mempurukkan PSSI ke kubangan kebohongan. Yang berlangsung bukanlah demokrasi substansial, melainkan prosedural. Itu pun dengan trek yang sudah dikonstruksi sesuai alur konsep mereka. Perilaku semacam ini merefleksikan apa yang terjadi di ”jagat besar” sikap manusia terhadap nikmat kekuasaan. PSSI (baca: Nurdin Halid cs) bisa dibaca sebagai miniatur sirkus politik nasional kita. Jadi, sudahlah Nurdin...

***
Inspirasi dari Orang Terkaya Dunia

Daftar orang-orang kata dunia sudah dirilis oleh Majalah Forbes. Taipan asal Meksiko, Carlos Slim Helu masih tercatat sebagai orang terkaya dengan total kekayaan Rp 660 Triliun. Indonesia masih bisa bersyukur karena menempatkan beberapa orang masuk dalam daftar tersebut meski di urutan ratusan. Ketika membaca berita seperti ini, setiap orang tentu memiliki fantasi sendiri-sendiri. Misalnya, ternyata kekayaan Slim Helu sekitar 50 persen dari APBN Indonesia !

Tentu tidak boleh ada iri hati membaca kekayaan mereka itu. Slim Helu, Bill Gates, Warren Buffet, maupun Hartono bersaudara lebih mencerminkan sosok pekerja keras yang dinaungi oleh hoki, atau kabegjan. Kenapa, karena banyak bahkan mungkin jutaan orang sudah bekerja keras siang malam, tetapi tidak juga mencapai kekayaan berlimpah. Hoki, atau kabegjan itu juga tidak bisa dibeli, karena tidak dijual di sekolah bisnis paling bergengsi di dunia sekali pun.

Ada orang kaya karena memang dapat warisan, tetapi semua ini akan segera rontok manakala pewaris tidak memiliki cara mengelola yang benar, dan tidak bekerja keras untuk itu. Ada contoh yang berseberangan. Aburizal Bakrie misalnya, dia keturunan pengusaha tajir Achmad Bakrie. Tetapi, dia memiliki kemampuan mengembangkan Bakrie Group hingga sedemikian besar. Jadi, sudah kaya, ketiban hoki, masih mau bekerja keras.

Tetapi, banyak sekali keturunan pengusaha kaya yang secara perlahan harta habis dimakan zaman. Beberapa nama pengusaha besar di zaman lalu, kini tak satu pun anaknya berkibar-kibar. Warisan ada, hoki mungkin ada, tetapi tidak ada lagi kerja keras. Maka, inspirasi yang didapatkan adalah, harta warisan yang melimpah saja tidak cukup, karena harus ada ikhtiar terutama cara mengelola dengan kerja keras. Sedangkan kabegjan bisa diikhtiarkan.

Tetapi kita mesti belajar banyak dari mereka yang berangkat dari titik nol. Dari banyak sekali referensi akhirnya tergambarkan dengan sangat gamblang bahwa mereka rata-rata telah bekerja lebih lama untuk menghasilkan lebih banyak, bekerja lebih keras untuk menghasilkan lebih baik, dan bekerja lebih inovatif-kreatif untuk mendobrak kebekuan. Orang-orang kaya hampir selalu mempunyai kemampuan menciptakan iklim dan atmosfer nyaman bagi setiap karyawan.

Banyak dari mereka tidak datang dari universitas , karena ada pandangan dari kampus hanya menghasilkan orang-orang pandai teori. Kampus belum mampu menghasilkan pekerja keras yang mampu mentransformasikan teori ke dalam aplikasi yang matang. Di samping, daya imajinasi bisnis seringkali tumbuh bersama lingkungan kerjanya yang menantang. Kemampuan membaca kecenderungan yang tidak terlihat, dan dari celah itulah mereka muncul sebagai taipan yang hebat.

0 komentar:

Posting Komentar

search